Sabtu, 26 Agustus 2017

Mata Sunyi Hati



Membaca kosakata yang tertera di matamu, seperti mengeja bait rumit makna puisi. Melebihi pekat secangkir kopi hitam yang kutakar_seduh_nikmati dengan menanggalkan jejak pahit meski tinggal ampas.

Lagi, meraba kerling yang jatuh dari tatapmu, tak ubahnya seperti mencari serpihan hilang di laut lepas dengan kedalaman tak terjejak.


Wonsa, 26/07/17

Kamis, 24 Agustus 2017

Kerelaan Hati



Ini bukan sekadar tentang bagaimana atau seberapa besar usahaku mendapatkan cintamu. Namun lebih tentang ketulusanmu terhadapnya, yaitu bahagiamu ...
Bagaimana bisa rasa dipaksa ada, sedang mata yang lekat kutatap kosong tentangku, namun penuh terisi bayang punggung orang lain.
Jemari yang hendak kugenggam sedang berusaha sepenuh jiwa meraih jemari lain.

Adalah mungkin, jawabku bila suatu ketika rasa ini tak lagi setia menantimu memutar balik langkah menuju hatiku, sedang tuju yang kau mau bukan seorang aku. Melainkan sedekap peluk yang ditakdirkan memberimu segenap kedamaian daripadanya.
Ada kalanya rasa tak berbalas ini kulepas dari cengkeram pengharapan. Meski betapa sulit menuju ikhlas ...

Bahagiamu adalah bahagiaku, sedang bahagiaku bukan bahagiamu. Jadi pergilah ....
Kusemogakan rasamu tersampai, bahagiamu tergapai.

Bila tak mampu merelakan kini, mungkin nanti.
Atau ... rasa ini kan bersetia menunggu hingga kau lelah berlari, atau bisa jadi hingga aku mati.


Wonsa, 250817

Durjana

Sedepa harap terpenggal tajam. Langkah terkunci, 
terjebak pengap selangkang kenyataan. Terimpit derit, sakit tak kuasa menjerit. 
Apa dikata hendak, bila takdir mendepak dari titiannya.

Anak-anak ilalang gelinjang terkapar binasa di ranah pemukiman, 
terbakar angkara keserakahan adidaya. 
Sepeninggal lengkung pelangi memudar di langit kota mati. 
Tiada tersisa kecuali erang yang ditinggalkan pemiliknya.


Wonsa, 24 Agustust 2017

Rabu, 23 Agustus 2017

Kepada Tuan Kopi




Wahai engkau, dengarkanlah
Tidakkah kau lihat?
Kepak asmaraku melemah
Kekata patah di ujung lidah

Rindu, katamu?
Kerinduan manakah?
Rinduku telah bersimbah pekat darah
Meregang dalam rintih, di mana rindu telah tersembelih
yang tersisa hanyalah, remah-remah kamboja
; berserak di pusara jiwa


Yogya, 2014

Kekasih Inspirasi




Kupinang puisi dengan inspirasi secangkir kopi
mana kala waktu melenggang angkuh,
mengabai gelisah hasrat piatu tuk menautkan temu.

Ah, kau tahu?
Di pintal hujan, segenap lukat derita kutitipkan pada keranjang-keranjang awan
tuk sekadar melintasi langit kotamu
sebelum berderai jatuh menyamarkan deras air mata, membasuh jelaga.

Telah kusemayamkan belulang rindu pada lembar tengah buku harianku.
Usahlah melawat_ziarahi, di manapun keberadaan ragamu,
ruhnya telah terpasung di antara denyar jantungmu.
Seberapa pun kau jauh,
biarlah prasangka tertikam oleh tajam kepercayaan yang terasah sunyi diam-diam.
Takkan terbiar sepercik pun  praduga
menyulut isi kepala hingga membakar ruang dada.

Berdamailah dengan nurani
Simpanlah peluk untuk kutukar kecup di keningmukeningmu
pada suatu saat nanti



Wonsa, 230817












Selasa, 22 Agustus 2017

Pesakitan Harap





Serenade sendu membisik rayu, harapku seperti bisik azan di cuping telinga kanan; suara yang pertama terdengar setelah kelahiran, barangkali.
Atau seperti gema lonceng gereja yang sayup terdengar di sudut-sudut lengang. Atau entah seperti apa. Kusemogakan mampu membisik telinga jiwamu hingga menjejak kedalaman kalbu.

Mungkin kesepian tak kan pernah usai kuterjemahkan meski seribu kosakata kuaduk ratakan, bahkan majas para pujangga kupinjam bertinta tirisan hujan dari kegelisahan kelam langit malam.
Kedalaman rasa terperosok terjal-curam, usai terkapar dari puncak ketinggian menjelang ajal.


Wonsa, 220817

Senin, 21 Agustus 2017

Kepada Sunyi


Telah kupulangkan insomnia pada sepicing nyeri dalam nina-bobo mistery.
Biarlah diayun timang jemari sunyi yang pada salah satunya
melingkar cincin pengasihan berukir nama kekasih lamunan.
Dengkur lelap memantul lengang lorong senyap.
Sesekali meraba kening, sekadar memastikan bahwa ciuman itu masih ada.

Pun meski begitu, tak habis ingatan silam membangunkan luka
yang lelap dalam tidur panjangnya.
Di bilik sama, tempatku meminjam pena beserta penghapusnya.
Kuaduk ratakan ilusi pada setiap tegukan pahit kopi.
Ambigu termanggu di antara tanda titik koma di kepala
; mengembalikan separuh dari seluruh dan pastinya
takkan pernah sempurna merekatkan retakkanya.

Minggu, 20 Agustus 2017

Di balik Pekik Merdeka


Di antara riuh seru merdeka, seorang bocah cercekat rintih, gaduh teriakan cacing-cacing kelaparan penghuni perutnya melebihi sumbang keroncongan di lampu merah perempatan.
Adakah segelintir orang menyadari bahwa di antara pekik kemenangan tujuhbelasan, di antara kibar merah-putih di sepanjang jalan dan seantereo yel-yel kemenangan,
sepasang mata basah bocah deras mengalir perah asin kepedihan. perahu-perahu kertas terlarung gelisah di sana, sedang di dadanya terkibar bendera setengah tiang.


_tha_
Wonsa, 19 Agustus 2017